Rabu, 30 November 2016

thumbnail

CERITA DEWASA - MALANGNYA NASIB SEORANG KASIR

MALANGNYA NASIB SEORANG KASIR


Hesty yg masih berumur 25 tahun tak menyadari bahayanya bekerja sebagai kasir di sebuah toko serba ada di Jakarta. Dgn semangat dan keinginan untuk mandiri membuat dirinya tak mempedulikan nasehat orang tuanya yg merasa risau melihat putriya sering mendapat giliran tugas dari malam sampai pagi. Hesty lebih memilih bekerja pada shift tersebut, karena dari saat tengah malam sampai pagi, jarang sekali ada pembeli, sesampai Hesty bisa belajar untuk kuliahnya siang nanti

Sampai akhirnya pada suatu malam, Hesty mendapati dirinya ditodong sepucuk pistol tepat di depan matanya. Yg berambut Gondrong, dan yg satu lagi berKriting tebal. Mereka berdua, menerobos masuk membuat Hesty yg sedang berkonsentrasi pada bukunya terkejut.

“Keluarin uangnya!” perintah si Gondrong, semenantia si Kriting memutuskan semua kabel video dan telepon yg ada di toko itu. Tangan Hesty gemetar berusaha membuka laci kasir yg ada di depannya, saking takutnya kunci itu sampai terjatuh beberapa kali. Setelah beberapa saat, Hesty berhasil membuka laci itu dan memerikan semua uang yg ada di dalamnya, sebanyak 100 ribu kepada si Gondrong, Hesty tak diperkenankan menyimpan uang lebih dari 100 ribu di laci tersebut. Karena itu setiap kelebihannya langsung dimasukan ke brankas. Setelah si Gondrong merampas uang itu, Hesty langsung mundur ke belakang, ia sangat ketakutan kakinya lemas, hampir jatuh.

“Masa cuma segini?!” bentak si Gondrong.

“Buka brankasnya! Sekarang!” Mereka berdua menggiring Hesty masuk ke kantor manajernya dan mendorongnya sampai jatuh berlutut di hadapan brankas. Hesty mulai menangis, ia tak tahu nomor kombinasi brankas itu, ia hanya menyelipkan uang masuk ke dalam brankas melalui celah pintunya.

“Cepat!” bentak si Kriting, Hesty merasakan pistol menempel di belakang kepalanya. Hesty berusaha untuk menjelaskan kalau ia tak mengetahui nomor brankas itu. Untunglah, melihat mata Hesty yg ketakutan, mereka berdua percaya. “Brengsek! Nggak sebanding sama resikonya! Iket dia, biar dia nggak bisa manggil polisi!” Hesty di dudukkan di kursi manajernya dgn tangan diikat ke belakang. Kemudian kedua kaki Hesty juga diikat ke kaki kursi yg ia duduki. si Kriting kemudian mengambil plester dan menempelkannya ke mulut Hesty.

“Beres! Ayo cabut!”

“Tunggu! Tunggu dulu cing! Liat dia, dia boleh juga ya?!”.

“Cepetan! Nanti ada yg tau! Kita cuma dapet 100 ribu, cepetan!”.

“Aku pengen liat benanti aja!”.

Mata Hesty terbelalak ketika si Gondrong mendekat dan menarik t-shirt merah muda yg ia kenakan. Dgn satu tarikan keras, t-shirt itu robek membuat BH-nya terlihat. Payudara Hesty yg berukuran sedang, bergoyg-goyg karena Hesty meronta-ronta dalam ikatannya.

“Wow, oke banget!” si Gondrong berseru kagum.

“Oke, sekarang kita pergi!” ajak si Kriting, tak begitu tertarik pada Hesty karena sibuk mengawasi keadaan depan toko.

Tapi si Gondrong tak peduli, ia sekarang meraba-raba pentil susu Hesty lewat BH-nya, setelah itu ia memasukkan jarinya ke belahan payudara Hesty. Dan tiba-tiba, dgn satu tarikan BH Hesty ditariknya, tubuh Hesty ikut tertarik ke depan, tapi akhirnya tali BH Hesty terputus dan sekarang payudara Hesty bergoyg bebas tanpa ditutupi selembar benangpun.

“Jangan!” teriak Hesty. Tapi yg tedengar cuma suara gumaman. Terasa oleh Hesty mulut si Gondrong menghisapi pentil susunya pertama yg kiri lalu sekarang pindah ke kanan. Kemudian Hesty menjerit ketika si Gondrong mengigit pentil susunya.

“Diem! Jangan berisik!” si Gondrong menampar Hesty, sampai berkunang-kunang. Hesty hanya bisa menangis.

“Aku bilang diem!”, sembari berkata itu si Gondrong menampar payudara Hesty, sampai sebuah cap tangan berwarna merah terbentuk di payudara kiri Hesty. Kemudian si Gondrong bergeser dan menampar uang sebelah kanan. Hesty terus menjerit-jerit dgn mulut diplester, semenantia si Gondrong terus memukuli payudara Hesty sampai akhirnya bulatan payudara Hesty berwarna merah.

“Ayo, cepetan cing!”, si Kriting menarik tangan si Gondrong.

“Kita musti cepet minggat dari sini!” Hesty bersyukur ketika melihat si Gondrong diseret keluar ruangan oleh si Kriting. Payudaranya terasa sangat sakit, tapi Hesty bersyukur ia masih hidup. Melihat sekelilingnya, Hesty berusaha menemukan sesuatu untuk membebaskan dirinya. Di meja ada gunting, tapi ia tak bisa bergerak sama sekali.

“Hey, Rendra! Tokonya kosong!”.

“Masa, cepetan ambil permen!”.

“Goblok lo, ambil bir tolol!”.

Tubuh Hesty menegang, mendengar suara beberapa anak-anak di bagian depan toko. Dari suaranya ia mengetahui bahwa itu adalah anak-anak berandal yg ada di lingkungan itu. Mereka baru berusia sekitar 15 sampai 17 tahun. Hesty mengeluarkan suara minta tolong.

“sstt! Lo denger nggak?!”.

“Cepet kembaliin semua!”.

“Lari, lari! Kita ketauan!”.

Tiba-tiba salah seorang dari mereka menjengukkan kepalanya ke dalam kantor manajer. Ia terperangah melihat Hesty, terikat di kursi, dgn t-shirt robek membuat payudaranya mengacung ke arahnya.

“Buset!” berandal itu tampak terkejut sekali, tapi sesaat kemudian ia menyeringai.

“Hei, liat nih! Ada kejutan!”

Hesty berusaha menjelaskan pada mereka, menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha menjelaskan bahwa dirinya baru saja dirampok. Ia berusaha minta tolong agar mereka memanggil polisi. Ia berusaha memohon agar mereka melepaskan dirinya dan menutupi dadanya. Tapi yg keluar hanya suara gumanan karena mulutnya masih tertutup plester. Satu demi satu berandalan itu masuk ke dalam kantor. Satu, kemudian dua, lalu tiga. Empat. Lima! Lima wajah-wajah dgn senyum menyeringai sekarang mengamati tubuh Hesty, yg terus meronta-ronta berusaha menutupi tubuhnya dari pandangan mereka. Berandalan, yg berumur sekitar 15 tahun itu terkagum-kagum dgn penemuan mereka.

“Gila! Perempuan nih!”.

“Dia telanjang!”.

“Tu liat susunya! susu!”.

“Mana, mana aku pengen liat!”.

“Aku pengen pegang!”.

“Pasti alus tuh!”.

“Bawahnya kayak apa ya?!”.

Mereka semua berkomenanti bersamaan, kegirangan menemukan Hesty yg sudah terikat erat. Kelima berandal itu maju dan merubung Hesty, tangan-tangan meraih tubuh Hesty. Hesty tak tahu lagi, milik siapa tanga-tangan tersebut, semuanya berebutan mengelus pinggangnya, meremas payudaranya, menjambak rambutnya, seseorang menjepit dan menarik-narik pentil susunya. Kemudian, salah satu dari mereka menjilati pipinya dan memasukan ujung lidahnya ke lubang telinga Hesty.

“Ayo, kita lepasin dia dari kursi!” Mereka melepaskan ikatan pada kaki Hesty, tapi dgn tangan masih terikat di belakang, sambil terus meraba dan meremas tubuh Hesty. Melihat ruangan kantor itu terlalu kecil mereka menyeret Hesty keluar menuju bagian depan toko. Hesty meronta-ronta ketika merasa ada yg berusaha melepaskan kancing jeansnya. Mereka menarik-narik jeans Hesty sampai akhirnya turun sampai ke lutut. Hesty terus meronta-ronta, dan akhirnya mereka berenam jatuh tersungkur ke lantai. Sebelum Hesty sempat membalikkan tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara lecutan, dan sesaat kemudian Hesty merasakan sakit yg amat sangat di bokongnya. Hesty melihat salah seorang berandal tadi memegang sebuah ikat pinggang kulit dan bersiap-siap mengayunkannya lagi ke bokongnya!

“Bangun! Bangun!” ia berteriak, kemudian mengayunkan lagi ikat pinggangnya. Sebuah garis merah timbul di bokong Hesty. Hesty berusaha berguling melindungi bokongnya yg terasa sakit sekali. Tapi berandal tadi tak peduli, ia kembali mengayunkan ikat pinggang tadi yg sekarang menghajar perut Hesty.

“Bangun! naik ke sini!” berandal tadi menyapu barang-barang yg ada di atas meja layan sampai berjatuhan ke lantai. Hesty berusaha bangun tapi tak berhasil. Lagi, sebuah pukulan menghajar payudaranya. Hesty berguling dan berusaha berdiri dan berhasil berlutut dan berdiri. Berandal tadi memberikan ikat pinggang tadi kepada kawannya. “Kalo dia gerak, pukul aja!”

Langsung saja Hesty mendapat pukulan di bokongnya. Berandal-berandal yg lain tertawa dan bersorak. Mereka lalu mendorong dan menarik tubuhnya, membuat ia bergerak-gerak sesampai mereka punya alasan lagi buat memukulnya. Berandal yg pertama tadi kembali dgn membawa segulung plester besar. Ia mendorong Hesty sampai berbaring telentang di atas meja. Pertama ia melepaskan tangan Hesty kemudian langsung mengikatnya dgn plester di sudut-sudut meja, tangan Hesty sekarang terikat erat dgn plester sampai ke kaki meja. Selanjutnya ia melepaskan sepatu, jeans dan celana dalam Hesty dan mengikatkan kaki-kaki Hesty ke kaki-kaki meja lainnya. Sekarang Hesty berbaring telentang, telanjang bulat dgn tangan dan kaki terbuka lebar menyerupai huruf X.

“Waktu Pesta!” berandal tadi lalu menurunkan celana dan celana dalamnya. Mata Hesty terbelalak melihat kemaluannya menggantung, setengah keras sepanjang 20 senti. Berandal tadi memegang pinggul Hesty dan menariknya sampai mendekati pinggir meja. Kemudian ia menggosok-gosok kemaluannya sampai berdiri mengacung tegang.

“Waktunya masuk!” ia bersorak semenantia kawan-kawan lainnya bersorak dan tertawa. Dgn satu dorongan keras, kemaluannya masuk ke kemaluan Hesty. Hesty melolong kesakitan. Air mata meleleh turun, semenantia berandal tadi mulai bergerak keluar masuk. Kawannya naik ke atas meja, menduduki dada Hesty, membuat Hesty sulit bernafas. Kemudian ia melepaskan celananya, mengeluarkan kemaluannya dari celana dalamnya. Plester di mulut Hesty ditariknya sampai lepas. Hesty berusaha berteriak, tapi mulutnya langsung dimasuki oleh kemaluan berandal yg ada di atasnya. Langsung saja, kemaluan tadi mengeras dan membesar bersamaan dgn keluar masuknya kemaluan tadi di mulut Hesty. Pandangan Hesty berkunang-kunang dan merasa akan pingsan, ketika tiba-tiba mulutnya dipenuhi cairan kental, yg terasa asin dan pahit. Semprotan demi semprotan masuk, tanpa bisa dimuntahkan oleh Hesty. Hesty terus menelan cairan tadi agar bisa terus mengambil nafas.

Berandal yg duduk di atas dada Hesty turun ketika kemudian, berandal yg sedang meperkosanya di pinggir meja bergerak makin cepat. Ia memukuli perut Hesty, membuat Hesty mengejang dan kemaluannya berkontraksi menjepit kemaluannya. Ia kemudian memegang payudara Hesty sambil terus bergerak makin cepat, ia mengerang-erang mendekati orgasme. Tangannya meremas dan menarik payudara Hesty ketika tubuhnya bergetar dan sperma pun menyemprot keluar, terus-menerus mengalir masuk di kemaluan Hesty. Semenantia itu berandal yg lainnya berdiri di samping meja dan melakukan masturbasi, ketika pimpinan mereka mencapai puncaknya mereka juga mengalami ejakulasi bersamaan. Sperma mereka menyemprot keluar dan jatuh di muka, rambut dan dada Hesty.

Hesty tak tahu apa yg terjadi selanjutnya, ketika tahu-tahu ia kembali sendirian di toko tadi, masih terikat erat di atas meja. Ia tersadar ketika menyadari dirinya terlihat jelas, jika ada orang lewat di depan tokonya. Hesty meronta-ronta membuat payudaranya bergoyg-goyg. Ia menangis dan meronta berusaha melepaskan diri dari plester yg mengikatnya. Setelah beberapa lama mencoba Hesty berhasil melepaskan tangan kanannya. Kemudian ia melepaskan tangan kirinya, kaki kanannya. Tinggal satu lagi.
“Wah, wah, wah!” terdengar suara laki-laki di pintu depan. Hesty terkejut dan berusaha menutupi dada dan kemaluannya dgn kedua tangannya.

“Tolong saya!” ratap Hesty.

“Tolong saya Pak! Toko saya dirampok, saya diikat dan diperkosa! Tolong saya Pak, panggilkan polisi!”

“Nama lu Hesty kan?” tanya laki-laki tadi.

“Bagaimana bapak tahu nama saya?” Hesty bingung dan takut.

“Aku Rendra. Orang yg kerjaannya di toko ini lo rebut!”.

“Saya tak merebut pekerjaan bapak. Saya tahu dari iklan di koran. Saya betul-betul tak tahu pak! Tolong saya pak!”.

“Gara-gara lo ngelamar ke sini aku jadi dipecat! Aku nggak heran lo diterima kalo liat bodi lo”.

Hesty kembali merasa ketakutan melihat Rendra, seseorang yg belum pernah dilihat dan dikenalnya tapi sudah membencinya. Hesty kembali berusaha melepaskan ikatan di kaki kirinya, membuat Raoy naik pitam. Ia menyambar tangan Hesty dan menekuknya ke belakang dan kembali diikatnya dgn plester, dan plester itu terus dilitkan sampai mengikat ke bahu, sampai Hesty betul-betul terikat erat. Ikatan itu membuat Hesty kesakitan, ia menggeliat dan payudaranya semakin membusung keluar.

“Lepaskan! Sakit! aduuhh! Saya tak memecat bapak! Kenapa saya diikat?”

“Aku tadinya mau ngerampok nih toko, cuma kayaknya aku udah keduluan. Jadi aku rusak aja deh nih toko”.

Ia kemudian melepaskan ikatan kaki Hesty sesampai sekarang Hesty duduk di pinggir meja dgn tangan terikat di belakang. Kemudian diikatnya lagi dgn plester.
Kemudian Rendra mulai menghancurkan isi toko itu, etalase dipecahnya, rak-rak ditendang jatuh. Kemudian Rendra mulai menghancurkan kotak pendingin es krim yg ada di kanan Hesty. Es krim beterbangan dilempar oleh Rendra. Beberapa di anantianya mengenai tubuh Hesty, kemudian meleleh mengalir turun, melewati punggungnya masuk ke belahan bokongnya. Di depan, es tadi mengalir melalui belahan payudaranya, turun ke perut dan mengalir ke kemaluan Hesty. Rasa dingin juga menempel di payudara Hesty, membuat pentilnya mengeras san mengacung. Ketika Rendra selesai, tubuh Hesty bergetar kedinginan dan lengket karena es krim yg meleleh.

“Lo keliatan kedinginan!” ejek Rendra sambil menyentil pentil susu Hesty yg mengeras kaku.

“Aku musti kasih lo sesuatu yg anget.”

Rendra kemudian mendekati wajan untuk mengoreng hot dog yg ada di tengah ruangan. Hesty melihat Rendra mendekat membawa beberapa buah sosis yg berasap. “Jangaann!” Hesty berteriak ketika Rendra membuka bibir kemaluannya dan memasukan satu sosis ke dalam kemaluannya yg terasa dingin karena es tadi. Kemudian ia memasukan sosis yg kedua, dan ketiga. Sosis yg keempat putus ketika akan dimasukan. Kemaluan Hesty sekarang diisi oleh tiga buah sosis yg masih berasap. Hesty menangis kesakitan kerena panas yg dirasakannya.

“Keliatannya nikmat!” Rendra tertawa.

“Tapi aku lebih suka dgn mustard!” Ia mengambil botol mustard dan menekan botol itu. Cairan mustard keluar menyemprot ke kemaluan Hesty. Hesty menangis terus, melihat dirinya disiksa dgn cara yg tak terbaygkan olehnya.
Sambil tertawa Rendra melanjutkan usahanya menghancurkan isi toko itu. Hesty berusaha melepaskan diri, tapi tak berhasil. Nafasnya tersengal-sengal, ia tak kuat menahan semua ini. Tubuh Hesty bergerak lunglai jatuh.”

“Hei! Kalo kerja jangan tidur!” bentak Rendra sambil menampar pipi Hesty.

“Lo tau nggak, daerah sini nggak aman jadi perlu ada alarm.”

Hesty meronta ketakutan melihat Rendra memegang dua buah jepitan buaya. Jepitan itu bergigi tajam dan jepitannya keras sekali. Rendra mendekatkan satu jepitan ke pentil susu kanan Hesty, menekannya sampai terbuka dan melepaskannya sampai menutup kembali menjepit pentil susu Hesty. Hesty menjerit dan melolong kesakitan, gigi jepitan tadi menancap ke pentil susunya. Kemudian Rendra juga menjepit pentil susu yg ada di sebelah kiri. Air mata Hesty bercucuran di pipi.
Kemudian Rendra mengikatkan kawat halus di kedua jepitan tadi, mengulurnya dan kemudian mengikatnya ke pegangan pintu masuk. Ketika pintu itu didorong Rendra sampai membuka keluar, Hesty merasa jepitan tadi tertarik oleh kawat, dan membuat payudaranya tertarik dan ia menjerit kesakitan.

“Nah, udah jadi. Lo tau kan pintu depan ini bisa buka ke dalem ama keluar, tapi bisa juga disetel cuma bisa dibuka dgn cara ditarik bukan didorong. Jadi aku sekarang pergi dulu, terus nanti aku pasang biar pintu itu cuma bisa dibuka kalo ditarik. Nanti kalo ada orang dateng, pas dia dorong pintu kan nggak bisa, pasti dia coba buat narik tuh pintu, nah, pas narik itu alarmnya akan bunyi!”

“Jangan! saya mohoon! mohon! jangan! jangan! ampun!”

Rendra tak peduli, ia keluar dan tak lupa memasang kunci pada pintu itu sampai sekarang pintu tadi hanya bisa dibuka dgn ditarik. Hesty menangis ketakutan, pentil susunya sudah hampir rata, dijepit. Ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan. Tubuh Hesty berkeringat setelah berusaha melepaskan diri tanpa hasil. Lama kemudian terlihat sebuah baygan di depan pintu, Hesty melihat ternyata baygan itu milik gelandangan yg sering lewat dan meminta-minta. Gelandangan itu melihat tubuh Hesty, telanjang dgn payudara mengacung.

Gelandang itu mendorong pintu masuk. Pintu itu tak terbuka. Kemudian ia meraih pegangan pintu dan mulai menariknya.

Hesty berusaha menjerit “Jangan! jangan! jangan buka! jangaann!”, tapi gelandangan tadi tetap menarik pintu, yg kemudian menarik kawat dan menarik jepitan yg ada di pentil susunya. Gigi-gigi yg sudah menancap di daging pentil susunya tertarik, merobek pentil susunya. Hesty menjerit keras sekali sebelum jatuh di atas meja. Pingsan.

Hesty tersadar dan menjerit. Sekarang ia berdiri di depan meja kasir. Tangannya terikat ke atas di rangka besi meja kasir. Sedangkan kakinya juga terikat terbuka lebar pada kaki-kaki meja kasir. Ia merasa kesakitan. Pentil susunya sekarang berwarna ungu, dan menjadi sangat sensitif. Udara dingin saja membuat pentil susunya mengacung tegang. Memar-memar menghiasi seluruh tubuhnya, mulai pinggang, dada dan pinggulnya. Hesty merasakan sepasang tangan berusaha membuka belahan bokongnya dari belakang. Sesuatu yg dingin dan keras berusaha masuk ke liang anusnya. Hesty menoleh ke belakang, dan ia melihat gelandangan tadi berlutut di belakangnya sedang memegang sebuah botol bir.

“Jangan, ampun! Lepaskan saya pak! Saya sudah diperkosa dan dipukuli! Saya tak tahan lagi.”

“Tapi Mbak, bokong Mbak kan belon.” gelandangan itu berkata tak jelas.

“Jangan!” Hesty meronta, ketika kemaluan gelandangan tadi mulai berusaha masuk ke anusnya. Setelah beberapa kali usaha, gelandangan tadi menyadari kemaluannya tak bisa masuk ke dalam anus Hesty. Lalu ia berlutut lagi, mengambil sebuah botol bir dari rak dan mulai mendorong dan memutar-mutarnya masuk ke liang anus Hesty.

Hesty menjerit-jerit dan meronta-ronta ketika leher botol bir tadi mulai masuk dgn keadaan masih mempunyai tutup botol yg berpinggiran tajam. Liang anus Hesty tersayat-sayat ketika gelandangan tadi memutar-mutar botol dgn harapan liang anus Hesty bisa membesar.

Setelah beberapa saat, gelandangan tadi mencabut botol tadi. Tutup botol bir itu sudah dilapisi darah dari dalam anus Hesty, tapi ia tak peduli. Gelandang itu kembali berusaha memasukan kemaluannya ke dalam anus Hesty yg sekarang sudah membesar karena dimasuki botol bir. Gelandang tadi mulai bergerak kesenangan, sudah lama sekali ia tak meniduri perempuan, ia bergerak cepat dan keras sesampai Hesty merasa dirinya akan terlepar ke depan setiap gelandangan tadi bergerak maju. Hesty terus menangis melihat dirinya disodomi oleh gelandangan yg mungkin membawa penyakit kelamin, tapi gelandangan tadi terus bergerak makin makin cepat, tangannya meremas payudara Hesty, membuat Hesty menjerit karena pentil susunya yg terluka ikut diremas dan dipilih-pilin. Akhirnya dgn satu erangan, gelandang tadi orgasme, dan Hesty merakan cairan hangat mengalir dalam anusnya, sampai gelandangan tadi jatuh terduduk lemas di belakang Hesty
.
“Makasih ya Mbak! Saya puas sekali! Makasih.” gelandangan tadi melepaskan ikatan Hesty. Kemudian ia mendorong Hesty duduk dan kembali mengikat tangan Hesty ke belakang, kemudian mengikat kaki Hesty erat-erat. Kemudian tubuh Hesty didorongnya ke bawah meja kasir sampai tak terlihat dari luar.

Sambi terus mengumam terima kasih gelandangan tadi berjalan sempoyongan sambil membawa beberapa botol bir keluar dari toko. Hesty terus menangis, merintih merasakan sperma gelandangan tadi mengalir keluar dari anusnya. Lama kemudian Hesty jatuh pingsan kelelahan dan shock. Ia baru tersadar ketika ditemukan oleh rekan kerjanya yg masuk pukul 6 pagi.

Selasa, 29 November 2016

thumbnail

CERITA DEWASA - PIJIT PLUS PLUS MBAK FERA

PIJIT PLUS PLUS MBAK FERA


Cuaca Ibu kota negara kita ini terasa begitu panas, hal ini menambah hawa panas suasana di dalam angkot. Saat itu kurang lebih 5 menit lagi aku sampai kantorku, berhubung kerjaan hari ini sudah kukerjakan semalam, maka aku memutuskan untuk meneruskan perjalanku dengan angkot ini, lagdian masih ada waktu luang 2 jam lagi. Ketika angin yang tertiup dari sela jendela angkot sedang kunikmati, terciumlah aroma khas seorang wanita, bau dari wanita setengah baya memang agak lain, tetapi aroma ini mampu membuat seorang prdia menerawang hingga jauh ke alam yang belum pernah pria rasakan. Ketika aku sedang menikmati aroma badan wanita itu, aku terkagetkan oleh ucapan wanita itu,
“ Dek.., tolong dong jendelanya ditutup sedikit, jangan dibuka lebar-lebar , nanti saya bisa masuk angin ”, kata seorang wanita setengah baya di depanku pelan.
Aku sejenak terdiam, dan bengong memperhatikan wanita setengah baya itu,
“ Eh dek, denger nggak sih, jendelanya tolong dirapetin sedikit.., ” katanya lagi.
“ I…i … Ini mksdnya …? ” kataku.
“ Iya itu, bener … ”
Seketika itu juga aku menutup jendela angkot dan melihat kearahnya lagi,
“ Terima kasih, ” ucapnya.
“ I… i… iya sama-sama ” balasku,
Sebenenarnya aku ingin sekali ada bahan yang yang bisa kami omongkan lagi, agar aku tidak perlu curi-curi pandang kepadanya. Ketika itu pandagan mataku aku melirik kearah lehernya, tiba-tiba saja mataku terarah dadanya yang terbuka cukup lebar yang memperlihatkan belahan payudaranya. Sebenarnya aku belum pernah bicara di angkot dengan seorang wanita, apalagi separuh baya lagi. Kalau kini aku berani pasti karena dadanya terbuka, pasti karena peluhnya yang membasahi leher, pasti karena aku terlalu terbuai lamunan. Dia malah melengos. . Lalu asyik membuka tabloid. . Aku tidak dapat lagi memandanginya. Kantorku sudah terlewat. Aku masih di atas angkot. Perempuan paruh baya itu pun masih duduk di depanku. Masih menutupi diri dengan tabloid.
Tidak lama wanita itu mengetuk langit-langit angkot. Sopir menepikan kendaraan persis di depan sebuah salon. Aku perhatikan dia sejak bangkit hingga turun. Angkot bergerak pelan, aku masih melihat ke arahnya, untuk memastikan ke mana arah wanita itu. ketika aku mengikuti dia tersenyum, menantang dengan mata genit sambil mendekati pintu salon. Dalm fikiranku bertanya tanya, Dia kerja di sana, ataukah dia mau kesalon itu. Matanya dikedipkankan, bersamaan masuknya angkot lain di belakang angkotku tadi. Sungguh,dadaku tiba-tiba berdetak kencang sekali,
“ Bang, Bang kiri Bang..! ”
Semua penumpang menoleh ke arahku. Apakah suaraku mengganggu ketenangan mereka ?,
“ Pelan-pelan suaranya kan bisa Dek, ” sang supir menggerutu sambil memberikan kembaldian.
Aku membalik arah lalu berjalan cepat, penuh semangat. Satu dua, satu dua. Yes.., akhirnya. Namun, tiba-tiba keberandianku hilang. Apa katanya nanti ? Apa yang aku harus bilang, lho tadi kedip-kedipin mata, maksudnya apa ? Mendadak jari tanganku dingin semua. Wajahku merah padam. Lho, salon kan tempat umum. Semua orang bebas masuk asal punya uang. Bodoh amat. Come on lets go! Langkahku semangat lagi. Pintu salon kubuka.
“ Selamat siang Mas, ” kata seorang penjaga salon,
“ Potong, creambath, facial atau massage (pijat)..? ”
“ Massage, boleh. ” ujarku sekenanya.
Aku dibimbing ke sebuah ruangan. Ada sekat-sekat, tidak tertutup sepenuhnya. Tetapi sejak tadi aku tidak melihat wanita yang lehernya berkeringat yang tadi mengerlingkan mata ke arahku. Ke mana dia ? Atau jangan-jangan dia tidak masuk ke salon ini, hanya pura-pura masuk. Ah. Shit! Aku tertipu. Tapi tidak apa-apa toh tipuan ini membimbingku ke alam lain. Dulu aku paling anti masuk salon. Kalau potong rambut ya masuk ke tukang pangkas di pasar. Ah.., wanita yang lehernya berkeringat itu begitu besar mengubah keberandianku,
“ Buka bajunya, celananya juga, ” ujar wanita tadi manja menggoda,
“ Nih pake celana ini..! ”
Aku disodorkan celana pantai tapi lebih pendek lagi. Bahannya tipis, tapi baunya harum. Garis setrikaannya masih terlihat. Aku menurut saja. Membuka celanaku dan bajuku lalu gantung di kapstok. Ada dipan kecil panjangnya dua meter, lebarnya hanya muat badanku dan lebih sedekit. Wanita muda itu sudah keluar sejak melempar celana pijit. Aku tiduran sambil baca majalah yang tergeletak di rak samping tempat tidur kecil itu. Sekenanya saja kubuka halaman majalah.
“ Tunggu ya..! ” ujar wanita tadi dari jauh, lalu pergi ke balik ruangan ke meja depan ketika dia menerima kedatanganku.
“ Mbak Fera.., udah ada pasien tuh, ” ujarnya dari ruang sebelah. Aku jelas mendengarnya dari sini.
Kembali ruangan sepi. Hanya suara kebetan majalah yang kubuka cepat yang terdengar selebihnya musik lembut yang mengalun dari speaker yang ditanam di langit-langit ruangan.
Langkah sepatu hak tinggi terdengar, pletak-pletok-pletok. Makin lama makin jelas. Dadaku mulai berdegup lagi. Wajahku mulai panas. Jari tangan mulai dingin. Aku makin membenamkan wajah di atas tulisan majalah.
“ Halo..! ” suara itu mengagetkanku.
Hah… Suara itu lagi. Suara yang kukenal, itu kan suara yang meminta aku menutup kaca angkot. Dadaku berguncang. Haruskah kujawab sapaan itu ? Oh.., aku hanya dapat menunduk, melihat kakinya yang bergerak ke sana ke mari di ruangan sempit itu. Betisnya mulus ditumbuhi bulu-bulu halus. Aku masih ingat sepatunya tadi di angkot. Hitam. Aku tidak ingat motifnya, hanya ingat warnanya.
“ Mau dipijat atau mau baca, ” ujarnya ramah mengambil majalah dari hadapanku,
“ Ayo tengkurap..!!! ”
Tangannya mulai mengoleskan cream ke atas punggungku. Aku tersetrum. Tangannya halus. Dingin. Aku kegeldian menikmati tangannya yang menari di atas kulit punggung. Lalu pijitan turun ke bawah. Dia menurunkan sedekit tali kolor sehingga pinggulku tersentuh. Dia menekan-nekan agak kuat. Aku meringis menahan sensasasi yang waow..! Kini dia pindah ke selangkangan, agak berani dia masuk sedekit ke selangkangan. Aku meringis merasai sentuhan kulit jarinya. Tapi belum begitu lama dia pindah ke betis.
“ Balik badannya..! ” pintanya.
Aku membalikkan badanku. Lalu dia mengolesi dadaku dengan cream. Pijitan turun ke perut. Aku tidak berani menatap wajahnya. Aku memandang ke arah lain mengindari adu tatap. Dia tidak bercerita apa-apa. Aku pun segan memulai cerita. Dipijat seperti ini lebih nikmat diam meresapi remasan, sentuhan kulitnya. Bagiku itu sudah jauh lebih nikmat daripada bercerita. Dari perut turun ke selangkangan. Ah, selangkanganku disentuh lagi, diremas, lalu dia menjamah betisku, dan selesai. Dia berlalu ke ruangan sebelah setelah membereskan cream. Aku hanya ditinggali handuk kecil hangat. Kuusap sisa cream. Dan kubuka celana pantai. Astaga. Ada cairan putih di celana dalamku. Di kantor, aku masih terbayang-bayang wanita yang di lehernya ada keringat. Masih terasa tangannya di punggung, dada, perut, selangkangan. Aku tidak tahan.
Esoknya, dari rumah kuitung-itung waktu. Agar kejadian kemarin terulang. Jam berapa aku berangkat. Jam berapa harus sampai di Ciledug, jam berapa harus naik angkot yang penuh gelora itu. Ah, Aku terlambat setengah jam. Padahal, wajah wanita setengah baya yang di lehernya ada keringat sudah terbayang. Ini gara-gara ibuku menyuruh pergi ke rumah Tante Eni. Bayar arisan. Tidak apalah hari ini tidak ketemu. Toh masih ada hari esok. Aku bergegas naik angkot yang melintas. Toh, si setengah baya itu pasti sudah lebih dulu tiba di salonnya. Aku duduk di belakang, tempat favorit. Jendela kubuka. Angkot melaju. Angin menerobos kencang hingga seseorang yang membaca tabloid menutupi wajahnya terganggu.
“ Mas Tut.. ” hah..? suara itu lagi, suara wanita setengah baya yang kali ini karena mendung tidak lagi ada keringat di lehernya. Dia tidak melanjutkan kalimatnya.
Aku tersenyum. Dia tidak membalas tapi lebih ramah. Tidak pasang wajah perangnya.
“ Kayak kemarinlah.., ” ujarnya sambil mengangkat tabloid menutupi wajahnya.
Begitu kebetulankah ini? Keberuntungankah? Atau kean, karena dia masih mengangkat tabloid menutupi wajah? Aku kira aku sudah terlambat untuk bisa satu angkot dengannya. Atau jangan-jangan dia juga disuruh ibunya bayar arisan. Aku menyesal mengutuk ibu ketika pergi. Paling tidak ada untungnya juga ibu menyuruh bayar arisan.
“ Mbak Fera.., ” gumamku dalam hati.
Perlu tidak ya kutegur? Lalu ngomong apa? Lha wong Mbak Fera menutupi wajahnya begitu. Itu artinya dia tidak mau diganggu. Mbak Fera sudah turun. Aku masih termangu. Turun tidak, turun tidak, aku hitung kancing. Dari atas: Turun. Ke bawah: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah lagi: Tidak. Ke bawah lagi: Hah habis kancingku habis. Mengapa kancing baju cuma tujuh?
Hah, aku ada ide: toh masih ada kancing di bagian lengan, kalau belum cukup kancing Bapak-bapak di sebelahku juga bisa. Begini saja daripada repot-repot. Anggap saja tdiap-tdiap baju sama dengan jumlah kancing bajuku: Tujuh. Sekarang hitung penumpang angkot dan supir. Penumpang lima lalu supir, jadi enam kali tujuh, 42 hore aku turun. Tapi eh.., seorang penumpang pakai kaos oblong, mati aku. Ah masa bodo. Pokoknya turun.
“ Kiri Bang..! ”
Aku lalu menuju salon. Alamak.., jauhnya. Aku lupa kelamaan menghitung kancing. Ya tidak apa-apa, hitung-hitung olahraga. Hap. Hap.
“ Mau pijit lagi..? ” ujar suara wanita muda yang kemarin menuntunku menuju ruang pijat.
“ Ya. ”
Lalu aku menuju ruang yang kemarin. Sekarang sudah lebih lancar. Aku tahu di mana ruangannya. Tidak perlu diantar. Wanita muda itu mengikuti di belakang. Kemudian menyerahkan celana pantai.
“ Mbak Fera, pasien menunggu, ” katanya.
Majalah lagi, ah tidak aku harus bicara padanya. Bicara apa? Ah apa saja. Masak tidak ada yang bisa dibicarakan. Suara pletak-pletok mendekat.
“ Ayo tengkurap..! ” kata wanita setengah baya itu.
Aku tengkurap. Dia memulai pijitan. Kali ini lebih bertenaga dan aku memang benar-benar pegal, sehingga terbuai pijitannya.
“ Telentang..! ” katanya.
Kuputuskan untuk berani menatap wajahnya. Paling tidak aku dapat melihat leher yang basah keringat karena kepayahan memijat. Dia cukup lama bermain-main di perut. Sesekali tangannya nakal menelusup ke bagian tepi celana dalam. Tapi belum tersentuh kepala kejantanankuku. Sekali. Kedua kali dia memasukkan jari tangannya. Dia menyenggol kepala kejantanankuku. Dia masih dingin tanpa ekspresi. Lalu pindah ke pangkal selangkangan. Ah mengapa begitu cepat. Jarinya mengelus tdiap mili selangkanganku. Kejantananku sudah mengeras. Betul-betul keras. Aku masih penasaran, dia seperti tanpa ekspresi. Tetapi eh.., diam-diam dia mencuri pandang ke arah kejantananku. Lama sekali dia memijati pangkal selangkanganku. Seakan sengaja memainkan Kejantananku. Ketika Kejantananku melemah dia seperti tahu bagaimana menghidupkannya, memijat tepat di bagian pangkal selangkangan.
Lalu dia memijat lutut. Kejantananku melemah. Lalu dia kembali memijat pangkal selangkanganku. Ah an, aku dipermainkan seperti anak bayi. Selesai dipijat dia tidak meninggalkan aku. Tapi mengelap dengan handuk hangat sisa-sisa cream pijit yang masih menempel di badanku. Aku duduk di tepi dipan. Dia membersihkan punggungku dengan handuk hangat. Ketika menjangkau pantatku dia agak mendekat. Bau badannya tercium. Bau badan wanita setengah baya yang yang meleleh oleh keringat. Aku pertegas bahwa aku mengendus kuat-kuat aroma itu. Dia tersenyum ramah. Eh bisa juga wanita setengah baya ini ramah kepadaku.Lalu dia membersihkan selangkanganku sebelah kiri, ke pangkal selangkangan.
Ketika Kejantananku berdenyut-denyut, Sengaja kuperlihatkan agar dia dapat melihatnya. Di balik kain tipis, celana pantai ini dia sebetulnya bisa melihat arah turun naik Kejantananku. Kini pindah ke selangkangan sebelah kanan. Dia tepat berada di tengah-tengah. Aku tidak menjepit badannya. Tapi kakiku saja yang seperti memagari badannya. Aku membayangkan dapat menjepitnya di sini. Tetapi, bayangan itu terganggu. Terganggu wanita muda yang di ruang sebelah yang kadang-kadang tanpa tujuan jelas bolak-balik ke ruang pijat. Dari jarak yang begitu dekat ini, aku jelas melihat wajahnya. Tidak terlalu ayu. Hidungnya tidak mancung tetapi juga tidak pesek. Bibirnya sedang tidak terlalu sensual.
Nafasnya tercium hidungku. Ah segar. Payudara itu dari jarak yang cukup dekat jelas membayang. Cukuplah kalau tanganku menyergapnya. Dia terus mengelap selangkanganku. Dari jarak yang dekat ini hawa panas badannya terasa. Tapi dia dingin sekali. Membuatku tidak berani. Ciut. Kejantananku tiba-tiba juga ikut-ikutan ciut. Tetapi, aku harus berani. Toh dia sudah seperti pasrah berada di dekapan kakiku. Aku harus, harus, harus..! Apakah perlu menhitung kancing. Aku tidak berpakaian kini. Lagi pula percuma, tadi saja di angkot aku kalah lawan kancing. Aku harus memulai. Lihatlah, masak dia begitu berani tadi menyentuh kepala Kejantananku saat memijat perut. Ah, kini dia malah berlutut seperti menunggu satu kata saja dariku.
Dia berlutut mengelap selangkangan bagian belakang. Kaki kusandarkan di tembok yang membuat dia bebas berlama-lama membersihkan bagian belakang selangkanganku. Mulutnya persis di depan Kejantananku hanya beberapa jari. Inilah kesempatan itu. Kesempatan tidak akan datang dua kali. Ayo. Tunggu apa lagi. Ayo cepat dia hampir selesai membersihkan belakang selangkangan. Ayo..! Aku masih diam saja. Sampai dia selesai mengelap bagian belakang selangkanganku dan berdiri. Ah bodoh. Benarkan kesempatan itu lewat. Dia sudah membereskan peralatan pijat. Tapi sebelum berlalu masih sempat melihatku sekilas.
Betulkan, dia tidak akan datang begitu saja. Badannya berbalik lalu melangkah. Pletak, pletok, sepatunya berbunyi memecah sunyi. Makin lama suara sepatu itu seperti mengutukku bukan berbunyi pletak pelok lagi, tapi bodoh, bodoh, bodoh sampai suara itu hilang. Aku hanya mendengus. Membuang napas. Sudahlah. Masih ada esok. Tetapi tidak lama, suara pletak-pletok terdengar semakin nyaring. Dari iramanya bukan sedang berjalan. Tetapi berlari. Bodoh, bodoh, bodoh. Eh.., kesempatan, kesempatan, kesempatan. Aku masih mematung. Duduk di tepi dipan. Kaki disandarkan di dinding. Dia tersenyum melihatku.
“ Maaf Mas, sapu tangan saya ketinggalan, ” katanya.
Dia mencari-cari. Di mana? Aku masih mematung. Kulihat di bawahku ada kain, ya seperti saputangan.
“ Itu kali Mbak, ” kataku datar dan tanpa tekanan.
Dia berjongkok persis di depanku, seperti ketika dia membersihkan selangkangan bagian bawah. Ini kesempatan kedua. Tidak akan hadir kesempatan ketiga. Lihatlah dia tadi begitu teliti membenahi semua perlatannya. Apalagi yang dapat tertinggal? Mungkin sapu tangan ini saja suatu kealpaan. Ya, seseorang toh dapat saja lupa pada sesuatu, juga pada sapu tangan. Karena itulah, tidak akan hadir kesempatan ketiga. Ayo..!
“ Mbak.., selangkanganku masih sakit nih..! ” kataku memelas, ya sebagai alasan juga mengapa aku masih bertahan duduk di tepi dipan.
Dia berjongkok mengambil sapu tangan. Lalu memegang selangkanganku,
“ Yang mana..? ”
Yes..! Aku berhasil.
“ Ini.., ” kutunjuk pangkal selangkanganku.
“ Besok saja Sayang..! ” ujarnya.
Dia hanya mengelus tanpa tenaga. Tapi dia masih berjongkok di bawahku.
“ Yang ini atau yang itu..? ” katanya menggoda, menunjuk Kejantanankuku.
Darahku mendesir. Kejantanankuku tegang seperti mainan anak-anak yang dituip melembung. Keras sekali.
“ Jangan cuma ditunjuk dong, dipegang boleh. ”
Dia berdiri. Lalu menyentuh Kejantananku dengan sisi luar jari tangannya. Yes, Aku bisa dapatkan dia, wanita setengah baya yang meleleh keringatnya di angkot karena kepanasan. Dia menyentuhnya. Kali ini dengan telapak tangan. Tapi masih terhalang kain celana. Hangatnya, bdiar begitu, tetap terasa. Aku menggelepar.
“ Sst..! Jangan di sini..! ” katanya.
Kini dia tidak malu-malu lagi menyelinapkan jemarinya ke dalam celana dalamku. Lalu dekocok-kocok sebentar. Aku memegang teteknya. Bibirku melumat bibirnya.
“ Jangan di sini Sayang..! ” katanya manja lalu melepaskan sergapanku.
“ Masih sepi ini..! ” kataku makin berani.
Kemudian aku merangkulnya lagi, menyiuminya lagi. Dia menikmati, tangannya mengocok Kejantananku.
“ Besar ya..? ” ujarnya.
Aku makin bersemangat, makin membara, makin terbakar. Wanita setengah baya itu merenggangkan bibirnya, dia terengah-engah, dia menikmati dengan mata terpejam.
“ Mbak Fera telepon.., ” suara wanita muda dari ruang sebelah menyalak, seperti bel dalam pertarungan tinju.
Mbak Fera merapihkan pakaiannya lalu pergi menjawab telepon.
“ Ngapadian sih di situ..? ” katanya lagi seperti iri pada Fera.
Aku mengambil pakaianku. Baru saja aku memasang ikat pinggang, Fera menghampiriku sambil berkata,
“ Telepon aku ya..! ”
Dia menyerahkan nomor telepon di atas kertas putih yang disobek sekenanya. Pasti terburu-buru. Aku langsung memasukkan ke saku baju tanpa mencermati nomor-nomornya. Nampak ada perubahan besar pada Fera. Dia tidak lagi dingin dan ketus. Kalau saja, tidak keburu wanita yang menjaga telepon datang, dia sudah melumat Kejantananku. Lihat saja dia sudah separuh berlutut mengarah pada Kejantananku. Untung ada tissue yang tercecer, sehingga ada alasan buat Fera. Dia mengambil tissue itu, sambil mendengar kabar gembira dari wanita yang menunggu telepon. Dia hanya menampakkan diri separuh badan.
“ Mbak Fera.., aku mau makan dulu. Jagain sebentar ya..! ”
Ya itulah kabar gembira, karena Fera lalu mengangguk. Setelah mengunci salon, Fera kembali ke tempatku. Hari itu memang masih pagi, baru pukul 11.00 siang, belum ada yang datang, baru aku saja. Aku menanti dengan debaran jantung yang membuncah-buncah. Fera datang. Kami seperti tidak ingin membuang waktu, melepas pakaian masing-masing lalu memulai pergumulan. Fera menjilatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku menikmati kelincahan lidah wanita setengah baya yang tahu di mana titik-titik yang harus dituju. Aku terpejam menahan air mani yang sudah di ujung. Bergantdian Fera kini telentang.
“ Pijit saya Mas..! ” katanya melenguh.
Kujilati payudaranya, dia melenguh. Lalu Kewanitaannya, basah sekali. Dia membuncah ketika aku melumat klitorisnya. Lalu mengangkang.
“ Aku sudah tak tahan, ayo dong..! ” ujarnya merajuk.
Saat kusorongkan Kejantananku menuju kewanitaannya, dia melenguh lagi.
“ Ah.. Sudah tiga tahun, benda ini tak kurasakan Sayang. Aku hanya main dengan tangan. Kadang-kadang ketimun. Jangan dimasukkan dulu Sayang, aku belum siap. Ya sekarang..! ” pintanya penuh manja.
Tetapi mendadak bunyi telepon di ruang depan berdering. Kring..! Aku mengurungkan niatku. Kring..!
“ Mbak Fera, telepon. ” kataku.
Dia berjalan menuju ruang telepon di sebelah. Aku mengikutinya. Sambil menjawab telepon di kursi dia menunggingkan pantatnya.
“ Ya sekarang Sayang..! ” katanya.
“ Halo..? ” katanya sedekit terengah.
“ Oh ya. Ya nggak apa-apa, ” katanya menjawab telepon.
“ Siapa Mbak..? ” kataku sambil menancapkan Kejantananku amblas seluruhnya.
“ Si Dila, yang tadi. Dia mau pulang dulu menjenguk orang tuanya sakit katanya sih begitu, ” kata Fera.
Setelah beberapa lama menyodoknya, “ Terus dong Yang. Auhh aku mau keluar ah.., Yang tolloong..! ” dia mendesah keras.
Lalu dia bangkit dan pergi secepatnya.
“ Yang.., cepat-cepat berkemas. Sebentar lagi Mbak Mirna yang punya salon ini datang, bdiasanya jam segini dia datang. ”
Kemudian akupun bergegas untuk merapikan diri dan bersiap keluar dari salon itu. Singkat cerita dalam perjalanan pulang aku terbayang-bayang oleh kejadian tadi, sungguh hari ini hari yang sangat sehat. Selesai.

Rabu, 23 November 2016

thumbnail

CERITA DEWASA - NIKMATNYA MANDI BERSAMA LAURA

NIKMATNYA MANDI BERSAMA LAURA


Apa kabar para pembaca sekalian, perkenalkan namaku Edho. Aku bertempat tinggal di pulau dewata, dimana pulau dewata adalah surganya para wisatawan di negri tercinta kami ini. Sebelum aku berpindah tempat tinggal, dulunya aku tinggal di Jakarta. Nah kali ini aku akan menceritakan tentang pengalaman pertamaku, dimana aku mengenal tentang sexs.

Ketika itu kira-kira aku berusia na15 tahun, aku mempunyai teman cewek yang aku kenal dari kecil, temanku itu bernama Laura. Karena temanku dari kecil, tentunya dulu dia juga berusia sama seperti aku. Laura ini mempunyai sifat tomboy, karena dia tomboy hampir semua temanya adalah laki-laki. Diantara teman-teman laki-lakinya aku bukan sekedar teman biasa karena aku adalah sahabatnya dari kecil.

Laura ini ssudahh dekat sekali dengan keluargaku, selain kami yang berteman dekat orang tua kami juga juga ssudahh berteman lama. Bahkan kakak-kakak kami-pun juga ssudahh berteman lama. Tidak jarang keluargaku dengan keluarga Laura sering berlibur bersama ke Puncak. Karena keluarga Laura mempunyai villa di Puncak maka kami sering memilih untuk berlibur untuk sekedar refreshing disana.

Pada waktu itu aku, tepatnya pada hari minggu, sasudahra dan keluarga kami sedang keluar. So… tinggal aku dengan Laura saja yang berada villa sampai sore hari. Ketika itu karena hari mulai gelap kamipun masuk kedalam villa karena kami sama-sama mempuyai sifat penakut. Ditambah lagi ketika itu lampu villa belum ada yang dinyalakan, ketika itu seringterdengar suara tokek yang membuat kami merinding.

Kami-pun ssudahh mulai bertanya-tanya kemana orang tua kami, karena sampai jam segini belum pulang juga. Ketika itu kira-kira selama pukul 17.15,tiba-tiba Laura mempunyai ide gila, dan dia berkata,

“ Eh Dho, Kami mandi bareng aja yuk !!! ” ucap Laura dengan asalnya.

Mendengar ucapan Laura akupun sempat terkejut. Tapi di usia kami yang dulu masih sama-sama berumur 15 tahun, kami masih agak polos dan tidak mempunyai fikiran tentamg sexs. Kemudian aku-pun menjawab,

“ Busett… gila Loe yak, kami kan berbeda kelamin… huuu… dasar gila… ”,

“ Emang kenapa kalau kami beda kelamin Dho ???, Mamah sama Papah aku aja aja kalau mandi
sering barengan ” dengan polosnya Laura mengatakan itu.

Karena dia selalu menagkis perkataanku untuk menolak, maka aku-pun menuruti ide gilanya itu.
Kemudian kami-pun bergegas masuk villa dan mengambil handuk masing-masing di jemuran. Ketiak itu handukku agak basah, soalnnya pada siang hari tadi, aku pakai untuk mengeringkan tubuhku sehabis berenang. Karena melihat handuku basah, ketika itu Laura berkata

“ Anduk loe basah ya Dho, sudahhlah pakai handuk Gue aja, kita barengan aja pakai handuknya ”, ucapnya dengan polos.

“ Oke deh kalau gitu Lau ”, jawabku singkat.

Singkat cerita kamipun bergegas mengunci pintu villa itu dan bergegas masuk ke kamar mandi utama di Villa itu. Sesampainya di kamar mandi, kamipun malu-malu dan sama tidak mau membuka baju kami. Kami saling memerintah untuk membuka baju duluan. Lalu perseteruan kami itupun terpecahkan oleh ideku.

“ Eh Laura… Gini aja biar adil, gimana kalau kami sama-sama balik tubuh, terus buka baju, habis itu bajunya dilempar ke luar kamar mandi supaya kami nggak ada yang bohong ”, ucapku.

“ Wah… bener banget tuh Dho, oke deh deal ”, jawabnya.

Ternyata dia setuju dengan ideku itu, kemudian kami-pun berbalik tubuh dan segera melepas dan membuang baju kami ke arah pintu keluar kamar mandi. Setelah kami sama-sama sama telanjang bulat, kami-pun berbalik tubuh dan saling menutupi bagian-bagian sensitif kami. Diiringi dengan telanjangnya kami, muka kami-pun sama-sama memerah karena malu.

Kemudian aku membuka tanganku, dan meraih tangan Laura yang ketika itu menutupi di payudaranyanya, lalu aku berkata,

“ Lepasin dong tangan Loe Laura, mandi yuk ah… ” ucapku.

Sebenarnya aku sendiri agak kaget ketika melihat paysudahra Laura yang mulai tumbuh itu. Aku tidak mengira ternyata di balik sifat tomboynya itu, Laura mempunyai bentuk tubuh yang sexy sekali. Pada awalnya kami memang sekadar mandi biasa, namun pada akhirnya ketika aku ingin menggosok bagian punggung, aku akhirnya meminta Laura untuk menggosokan punggungku, soalnnya tanganku nggak sampai.

Laura-pun mengiyakan permintaanku, dan dia mulai menggosok dari punggungku sampai pinggangku saja. Ketika itu aku berfikir ssudahh selesai, kemudian aku membalikan tubuhku. Eh ternyata, tanpa sengaja tangannya yang masih menempel di tubuhku terpeleset dan memegang kejantananku. Secara spontan, tiba-tiba tubuhku merasa aneh dan merinding. Tak lama setelah itu, tiba-tiba kejantanankun mengeras.

“ Ma… ma… Maaf Dho, Gue nggk sengaja. Aneh ya Punya kamu itu kok agak keras, terus kok tiba-tiba gerak-gerak sendiri ??? ” ucapnya dengan polosnya.

Aku tidak menyangka rupanya dia belum tau, kalau cowok kejantananya dipegang oleh lawan jenisnya pasti akan terangsang dan kejantannya bakal gemeter, terus mengeras sendiri.

“ Bilang aja loe sengaja mau megang punya Gue … Weeekk… ? ”, ucapku menggodanya.

Dia-pun menjadi malu lalu diapun berbalik badan sambil menyuruh aku bergantian untuk menggosok punggungnya. Libido aku saat itu sudah mulai naik, apalagi saat aku mengelus punggungnya dia,
mulai bahu, punggung sampai ke pinggang. Beuuhhh… bener-bener aku ngerasain betapa mulusnya kulit dia. Tanpa sadar, ketika itu tanganku-pun sudah sampai pada bagian pantat Laura.

Ternyata hal itu membangkitkan birahi Laura, lalu Tiba-tiba dia membalikan tubuhnya, lalu ngedekap erat di tubuhku. Sampai-sampai aku sendiri ngerasa payudra Laura terhimpit oleh tubuhku,

“ Oughhh…. Ssss… Aghhhh…. ”, terdengar desahan keluar dari mulutnya.

Dan disusulnya lagi dengan ucapan,

“ Tangan kamu nakal juga ya Dho.. Aghhhh…”,ucapnya.

Lalu aku yang sudah tidak tau mau ngapain lagi, spontan aku langsung mencium bibir dia. Dia-pun membalas ciumanku, dan tanganku-pun mulai bergerilia dari pinggang punggung, dan beranjak ke payudaranya. Lalu Laura mulai menggegerayangi tubuhku, berawal dari punggung, lalu turun ke pantatku. Rupanya Laura pernah pernah nonton film porno sebelum aku.

Jadi dari pengalaman ketika melihat film porno, Laura mulai menyedot kejantananku, mengocok dan memaikan kejantananku dengan lidahnya. Sedikit demi sedikit aku-pun meerasa Kejantananku mulai tegak. Sampai pada akhirnya kurasakan Kejantananku tiba-tiba berada didepan bibir Kewanitaan-ya dan Laura-pun merasa geli dan tubuhnya sedikit menggemelihat.

Kemudian tangan kananku membuka buka kran air bertujuan agar sabun di tubuh kami turun semua. Tapi Kejantananku belum pol, jadi masi bisa manjang lagi. Waktu aku maenin payudaranya, dia ngelepasin mulutnya dari bibir aku dan dia memengerang sedikit.

Pada awalnya aku awalnya aku nggak tahu tiap aku maenin, aku cubit dikit, atau ketika kejantananku mengesek Kewanitaan-ya-nya, dia selalu memengerang atau ngerasa geli-geli gimana gitu. Tidak lama lalu dia mencium aku lagi. Kejantananku makin jadi waktu dia ngeluarin lidahnya di mulut aku, sampai kepala Kejantananku akhirnya masuk ke Kewanitaan-ya-nya.

Dia mengerang lagi, tapi kali ini agak keras desahanya, lalu dia bilang kalau itu sakit. Waktu itu, kami sudah mulai dingin, soalnnya kami sudah basah-basahan selama 1 jam, jadi kami sudahhan lalu handukan. Kali ini sudah tidak malu-malu lagi. Aku mulai mengelap tubuh dia sampai ke Kewanitaan-nya. waktu itu, belum banyak bulunya, masih dikit banget.

Waktu aku ngelap, aku jongkok, jadi muka aku pas didepan Kewanitaan-ya-nya. dan dia sengaja, dia tiba-tiba tiba majuin pinggulnya sampai Kewanitaan-ya-nya mendarat di mulut aku, tapi akhirnya dia sendiri yang kegelian. He ”, he ”, he ”,

Sehabis mandi kami lari ke kamarku, soalnnya ga ada yang bawa baju, di kamar kami maen sambil telanjang, aku disuruh duduk diatas pinggang dia. Ternyata dia sudah nggak sabar pengen dimasukin. Yang Benar saja, dia nyuruh masukin Kejantananku ke dalam kewanitaan-nya. Ketika itu aku tidak mendengarkan perkataan Laura, malah aku maenin dulu kewanitaan-nya.

Terus terang saja, aku belum pernah melihat sedeket ini sebelumnya. Warnanya kewanitaan Laura Ketika itu masih berwarna merah muda dan terlihat menarik sekali.

“ Laura, kok punya kamu baunya wangi yah ? ”, ucapku sembari memperhatikan kewanitaan Laura.
Lalu dia berkata padaku, katanya Kewanitaan Laura rasanya manis, makanya aku disuru coba jilat. Lalu aku coba jilat, dan dia mengerang, seolah keenakan, tapi rasanya asin. Rupanya lendir kawin Laura sudah keluar sedikit waktu itu. Lalu aku maenin pake lidah aku sampai dia meremas-remas bantal yang ada di kepalanya. Kalau melihat dari expresinya, dia nampaknya sudah tidak tahan dengan jilatanku.

Sambil mengerang, Laura juga mendesis, persis kaya yang di film porno. Lalu, dia bangun, dia bilang mau gantian. Kali ini aku yang terlentang, dan dia yang masukin Kejantananku ke mulutnya. Aku cuma bisa ngomong,

“ Oughhh… shit… oughhh… Sss… Aghhh… Lau … ”, desahku.

Rupanya suara aku bikin dia tambah On Fire. dia makin kenceng keluar masukin Kejantananku ke mulutnya, kali ini aku yang inisiatif megang kepalanya dia dan aku tahan, sampai Kejantananku aku rasa mentok di tenggorokan dia. Setelah selama 5 menit dia maenin ama Kejantananku,

“ Eumm… Gue udah nggak tahan nih Dho, kita gituan yuk Dho !!! ”, ajaknya nampak on Fire sekali.
Kami berdua tau, bahwa masing- masing dari kami belum pernah negelakuin ini sebelumnya. Dia masih perawan, dan aku masi perjaka ting ting. Aku pegang barang aku yang sudah kenceng banget, lalu aku duduk bentar di pojok luar tempat tidur buat ngambil nafas sesaat, tapi dia dari depan langsung duduk di pangkuan aku dengan posisi ngebuka kakinya dan tubuhnya menghadap ke tubuhku.

Aku langsung lahap payudaranya dia dan dia makin jadi, kepala aku di bekep di payudaranya, sampai aku sendiri ada susa nafas. Aku beruntung, dia itu tipe cewe tomboy tapi sering disuru minum jamu sama nyokapnnya, soalnnya nyokapnnya itu apoteker, katanya buat ngejaga kulit. Jadi payudaranya itu lembut banget, wangi lagi .

Lalu dia memegang Kejantananku dan diarahkan ke lubang kewanitaanya.
Ketika itu aku hanya melihat dari atas lalu

“ Zlebbb… ”

Masuklah sedikit Kejantananku ke lubang kewanitaanya, dan dia langsung menindih tubuhku, sembari berkata,

“ Aghhh… Ughhh… sakit banget ternyata Dho… Huuu… ”, ucapnya.

Mungkin karena ini yang pertama kali. Tapi ngedenger suara dia, aku makin ngegenjot dikit, aku mengangkat pinggangku, lalu Kejantananku makin masuk, kira-kira masuk setengah. Lalu dia makin merintih, aku tidak tahu Laura merintih sakit atau nikmat. Setelah terangkat aku mulai memutar tubuhku, jadi psosi kami sekarang Laura di bawah dan aku yang diatas.

Dengan posisi itu, aku mulai memasukan pelan-pelan, dan dia makin merintih,

“ Aghhh… Ssss… Aghhh… udah Dho… Oughhh… sakit… Dho…”, ucapny nampak kesakitan.

Karena aku takut dia teriak, aku berkta pada Laura,

“ Ughhh… Tahan bentar Lau, Nanggung nih… Ssss… Aghhh…”, ucapku menenangkanya.

Kemudian aku mencium dia, supaya suaranya tidak terdengar dari luar Villa. Pada akhirnya setelah 30 menit aku berusah keras, pada akhirnya kejantananku-pun masuk semuanya. Dan kali ini dia tidak merasakan sakit lagi, dan malah keasikan. Sembari terus mengerang, dia mulai tersenyum, lalu dia lanjutkan eranganya lagi. Sesekali aku melihat Kejantananku, karena aku takut salah masuk kedalam anusnya.

Ternyata setelah aku lihat, aku sangat tepat sekali memasukan kejantananku pada kewanitaan Laura. Seketika itu juga aku melihat ada darah di antara Kejantananku dan Kewanitaan-nya Laura. Lalu laura,

“ Jangan kaget Dho lihat darah itu, itu adalah darah keperawanku, Aghhh…. ”, ucapnya.

Mendengar ucapanya aku-pun lalu aku mulai meneruskan permainanku, aku keluar masukin Kejantananku, dan Dia-pun memengerang keenakan. Setelah setengah 30 menit aku menggenjot kewanitaan Laura, tiba-tiba aku merasa ujung Kejantananku berdenyut-denyut. Begitu pula mulut kewanitaan Laura, Kewanitaaan Laura juga bergetar dan makin menejepit Kejantananku, Lalu,

“ Ssss… Aghhh… Dho kamu mau keluar yah ??? aghhh… ”, tanyanya sembari menikmati genjotanku.

Belum sempat aku menjawab, lalu dia menimpa perkataanya lagi,

“ Aghh… Buruan cabut Dho, jagan keluari didalam, aku juga mau keluar nih… aghhh… ”, ucapnya.
Karena baru pertama kalinya kami bersetubuh dan badan juga sudah lemas, akhirnya kami-pun orgasme secara bersamaan, dan,

“ Crottt… Crottt… Crottt… ”

Sial sekali akupun mengeluarkan spermaku didalam kewanitaan Laura. Ketika itu Laura sempat kaget juga karena aku menumpahkan spermaku di dalam Kewanitaan Laura. Apalagi dia sadar kalau waktu itu dia belum dapet, soalnnya masih awal bulan, sedangkan dia biasanya mens katanya di minggu-minggu ke tiga. Tapi mau gimana lagi ini semua sudah terlanjur.

Setelah itu, sejenak kami melupakan kejadian yang baru terjadim, aku-pun berciuman dengan Laura, dan dia berkata,

“ Kenapa tadi nggak ditarik keluar Dho. ntar kalau sampai kenapa-napa gimana coba ??? ”, ucapnya sedikit takut.

Akupun tidak menjawab pertanyaan Laura, lagia sudah terlanjur mau gimana lagi. Lalu kami-pun melakukan hal gila lagi, dengan kejantanan masih menancap, kami coba turun pelan-pelan dari tempat tidur. Lalu kami jalan ke kamar mandi, dan kami berencana mandi lagi soalnnya tubuh kami berkeringat akibat permainan sexs tadi. Lalu kami mandi dengan keadaan kejantananku yang masih menancap.

Singakt cerita setelah kami-pun selesai mandi dan aku melepas kejantananku dari kewanitaa Laura.Kemudian kami-pun memakai baju dan nonton TV sembari berpelukan. Tidak lama kemudian orang tua kamipun datang dan kami bersikap seperti tidak pernah ada kejadian apa-apa. Sungguh pengalaman sexs yang menyenangkan dan lucu sekali.

Semenjak kejadian itu hubungan kami-pun terus berlanjut, kami sering mencuri-cri kesempatan untuk bersetubuh dikala ada kesempatan. Dan satu hal lagi, ternyata Laura di minggu ke 3 dia menstruasi. Kamipun lega dan setelah itu kami sering melakukan hubungan sexs dimana saja. Selesai.

About

Diberdayakan oleh Blogger.